Latar Belakang Budayaku




Di Indonesia terdapat berbagai macam suku dengan adat dan budaya yang berbeda-beda. Setiap berkenalan dengan teman baru di kampus, mereka pasti bertanya, “Orang apa?” atau “Orang mana?”. Saya selalu menjawab bahwa saya orang Betawi dan Sunda. Sebenarnya saya sedikit bingung karena saya dilahirkan dan dibesarkan di Jakarta. Kedua orangtua saya pun juga dilahirkan serta dibesarkan di Jakarta. 

Lantas, haruskah saya menjawab saya orang Betawi asli? Sepertinya tidak karena setiap lebaran hari kedua saya dan keluarga saya ke Bogor. Tepatnya di Cilebut untuk menginap beberapa hari di rumah nenek dan kakek saya dari pihak ayah. Bisa di bilang ayah saya lah yang orang Sunda. Karena orangtua ayah saya merupakan orang Bogor asli. Uyut dan buyutnya juga orang Bogor. 

Lalu mengapa ayah saya tinggal di Jakarta sejak lahir? Karena beberapa tahun sebelum kemerdekaan RI, orangtua beliau pindah ke Jakarta dikarenakan pada saat itu kakek saya ikut berjuang melawan penjajah sehingga beliau dipindahkan ke Jakarta. Walaupun ayah saya beserta keluarganya tinggal di Jakarta, tetapi setiap lebaran kami selalu menginap di Bogor karena keluarga besar dari kakek dan nenek saya masih tinggal di Bogor. Kami masih menjalin silaturahmi yang sangat baik dengan keluarga besar kakek dan nenek saya, seperti dengan adik dan kakak mereka serta dengan saudara sepupu dan keponakan-keponakan mereka. 

Mengapa selalu menginap di hari kedua lebaran? Karena memang dari dulu tradisinya seperti itu. Pada hari pertama lebaran kami berlebaran di keluarga Jakarta. Di keluarga ibu saya. Begitu pula dengan kakak dan adik ayah saya yang lain. Pada hari pertama lebaran, mereka berlebaran di pihak keluarga mereka masing-masing yang bukan di Bogor. Ayah saya anak ketujuh dari sembilan bersaudara. dari sembilan orang, hanya ada tiga orang anak laki-laki. Ayah saya anak laki-laki terakhir. beliau mempunyai dua orang adik perempuan. Bisa dibilang ayah saya orangnya sangat mandiri karena beliau laki-laki sehingga harus mengalah dengan kakak dan adiknya yang perempuan. Beliau berkata bahwa ayahnya mendidiknya menjadi seorang pemimpin karena laki-laki memang ditakdirkan untuk menjadi pemimpin. Oleh karena itu, ayah saya juga menerapkan sikap kepemimpinan tersebut kepada saya dan adik-adik saya. 

Ayah saya selalu berkata menjadi pemimpin itu harus memberi contoh yang baik, rela berkoban dan harus selalu mengalah. Ya. Benar saja. Saya lah yang harus mengalah karena saya merupakan kakak tertua dari kedua adik saya. Ayah saya dilahirkan dari keluarga yang sangat sederhana. Bayangkan saja, dalam satu keluarga terdapat sembilan anak. Mereka harus benar-benar prihatin dalam segala hal karena banyak sekali pengeluaran yang dikeluarkan oleh kakek saya untuk menghidupi sembilan orang anak-anaknya. Oleh karena itu, ayah saya mendidik saya menjadi anak yang tidak mudah mengeluh, tidak cengeng dan apa adanya serta selalu bersyukur atas apa yang telah diberikan Allah SWT. 

Sebenarnya banyak sekali pelajaran hidup yang saya dapat dari cerita uwa-uwa saya. (uwa adalah panggilan untuk tante dan om saya dari pihak ayah). Saya juga jadi lebih banyak bersyukur karena kehidupan saya sekarang ini jauh lebih enak dibandingkan kehidupan mereka benar-benar mandiri. Kakek saya orangnya keras, sehingga hal itu menurun ke anak-anaknya termasuk ke ayah saya. Apalagi dalam urusan beribadah. Jujur, sekarang saya sangat takut dengan ayah saya. Padahal dulu ketika masih kecil saya sangat takut dengan ibu saya dan selalu berlindung ke ayah saya. Karena dulu ayah saya tidak pernah memarahi saya, tetapi ibu saya lah yang memarahi saya jika saya bertengkar dengan adik saya. Tetapi sekarang ketika saya tumbuh dewasa, ayah saya lah yang sangat cerewet ketika saya berpergian. 

Ayah saya terkadang terlalu protektif kepada saya. Ya, saya tahu. Mungkin karena saya anak perempuan serta anak pertama. Jadi saya merupakan harapan pertama kedua orang tua saya. jadi saya harus menjaga diri saya baik-baik. Berbeda dengan ibu saya, beliau membebaskan saya. Mungkin karena sama-sama perempuan dan orangtua ibu saya dulu juga membebaskan ibu saya untuk bergaul dengan siapa saja. Kakek saya seperti menganggap semua orang baik. Tidak seperti ayah saya yang selalu khawatir ketika saya pergi dan ingin tahu apa yang saya lakukan. Ayah saya seperti takut sekali saya terjerumus ke pergaulan yang negatif. Ya saya mengerti. Namanya juga orang tua pasti tidak ingin anaknya kenapa-kenapa. 

Ibu saya merupakan orang Betawi asli. Nenek dan kakek dari ibu saya benar-benar orang Betawi asli. Sampai-sampai uyut dan buyutnya juga orang Betawi asli. Budaya yang dominan pada keluarga saya yaitu budaya Betawi. Tetapi tidak terlalu memakai adat Betawi. Contohnya saya memanggil kedua orangtua saya dengan sebutan mama dan papa bukan nyak adan babe. Sedangkan memanggil nenek dan kakek saya ya nenek dan kakek. Bukan engkong atau nyak. Namun, saya memanggil tante dan om saya dengan sebutan uwa. Sama seperti memanggil tante dan om dari pihak ayah saya. mungkin karena kebiasaan memanggil uwa. Memang sedikit membingungkan karena uwa merupakan bahasa sunda. Saya memanggil kakak sepupu saya dari ibu dengan sebutan “kak” dan “bang” atau “abang” sedangkan dari pihak ayah, saya memanggilnya dengan sebutan “teteh, teh, aa atau a”. Saya memanggil nenek dan kakek dari pihak ayah dengan sebutan “abah” dan “emak”. Saya juga tidak tahu mengapa memanggilnya emak. Setahu saya emak merupakan bahasa Betawi. Ya begitulah akulturasi budaya yang terjadi di keluarga saya. mencampur-campurkan panggilan 

            Saya juga tidak bisa berbahasa Sunda karena memang dari kecil hingga sampai saat ini orangtua saya tidak pernah mengajari saya bahasa Sunda. Hal itu dikarenakan ayah saya tidak bisa berbahasa Sunda. Ketika kumpul di Bogor, tidak pernah ada keluarga saya yang berbicara dengan bahasa Sunda. Semuanya berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Di rumah, saya juga tidak berkomunikasi dengan dialek Betawi seperti mengganti huruf a dengan huruf e. Serta meninggikan voume bicaranya. Sebenarnya saya ingin bisa berbahasa Sunda. Menurut saya gaya bicara orang Sunda itu lucu. Apalagi Sunda halus. Karena kata orang, Bogor itu Sunda kasar bukan Sunda halus. 

            Rumah saya bersebelahan dengan musholla. Musholla tersebut sering mengadakan kegiatan-kegiatan untuk memperingati hari-hari besar Agama Islam seperti Maulid Nabi, Malam Nuzulul Quran, Malam Lailatul Qadr, dll serta rutin sebulan sekali mengadakan salat tasbih. Biasanya peringatan Maulid Nabi diadakan besar-besaran dan rumah saya pun dijadikan tempat untuk berkumpul para ustaz dan ulama. Kata ibu saya, hal ini sudah menjadi tradisi sejak ibu saya masih kecil. Beliau selalu membantu nenek saya beserta ibu-ibu lainnya memasak di dapur dan membantu menyiapkan kebutuhan lainnya. Sekarang, sayalah yang menjadi ibu saya. Ibu saya juga dibantu oleh ibu-ibu lainnya. Sangat kekeluargaan sekali. Mereka saling membantu sehingga acara tersebut dapat berjalan dengan lancar.

            Menurut saya, kakek saya orangnya sangat dermawan. Beliau sangat baik hati. Tidak hanya ke warga sini tetapi juga kepada para pendatang. Bahkan kata saya, kakek saya terlalu baik orangnya. Terkadang saya juga melihat bahwa kebaikan seseorang sering disalahgunakan oleh orang lain dan dimanfaatkan oleh orang lain. saya banyak belajar dari kakek saya yaitu kita harus selalu ingat bahwa hidup tidak hanya di dunia tetapi di akhirat juga oleh karena itu kita juga harus mengimbangi antara dunia dan akhirat. 

            Saya bangga terhadap dua percampuran budaya yang mengalir dalam diri saya. ya walaupun budaya Betawi lebih dominan. Saya bangga menjadi orang Betawi karena saya tinggal di Jakarta dan DKI Jakarta merupakan Ibu Kota Negara Republik Indonesia. Budaya Betawi merupakan budaya yang sangat beragam dan unik. Seperti yang dapat kita lihat banyak sekali orang yang ingin mempelajari budaya Betawi. Bukan hanya warga negara Indonesia tetapi juga warga negara asing yang mengikuti sanggar tari Betawi seperti tari Yapong, tari Topeng Betawi, tari Lenggang Nyai, tari Cokek, tari Zapin dll. Saya dan adik saya sendiri pun pernah mengikuti sanggar tari Betawi dekat rumah saya. Banyak juga orang yang mengikuti sanggar musik Betawi seperti Gamelan, Keroncong, Gambang Kromong, dan Rebana. Di musholla dekat rumah saya juga suka dijadikan tempat latihan marawis anak-anak muda. 

            Di daerah rumah saya juga masih banyak makanan khas Betawi yang dijual di gerobak-gerobak atau di rumah warga yang memang membuka usaha kuliner kecil-kecilan seperti soto betawi, laksa betawi, asinan betawi, kerak telor, serta nasi uduk. Mungkin banyak yang tidak tahu bahwa nasi uduk itu merupakan makanan asli Betawi. Masih banyak juga abang-abang dengan gerobak yang menjual kue khas Betawi seperti kue cucur, kue rangi, kue kembang goyang, kue ape, kue cente manis, kue putu mayang, dan kue geplak. Biasanya kue-kue tersebut juga di jual di tempat jualan nasi uduk. Ada satu lagi makanan khas betawi yang harus selalu ada setiap lebaran yaitu dodol Betawi. Tidak hanya ketika lebaran sih sebenarnya. Tergantung orang yang ingin makannya. Kalau ada abang-abang yang berjualan kue-kue tersebut, pasti ibu saya membelinya karena rasanya memang enak.

Comments

Popular posts from this blog

Cerita Tentang Kacamata

Kain Songket

Apa itu Jurnalisme Investigasi?